Sistem Pemerintahan Aceh Pada Masa Kerajaan


Kerajaan Aceh Darussalam dinyatakan sebagai satu negeri hukum seperti yang tercantum dalam Qanun Meukuta Alam; “Bahwa Aceh Darussalam adalah negeri hukum yang mutlak dan sah. Dan rakyat bukan patung yang terdiri di tengah pedang. Akan tetapi rakyat sebagai pedang sembilan mata yang amat tajam, lagi besar matanya, lagi amat panjang dari timur sampai ke barat.

Sebagai negara hukum maka semua pejabat dalam pemerintahan diwajibkan tunduk pada hukum yang berlaku. Demikianlah dalam Qanun Meukuta Alam di tetapkan; bahwa Sultan, Mufti/Qadhi Malikul Adil, para menteri, para panglima angkatan perang, para pejabat sipil (hulubalang), dan para pejabat-pejabat lainnya diwajibkan tunduk ke bawah qanun, yaitu undang-undang hukum islam negara Aceh.

Dasar dan Sumber Hukum

Segala hukum yang berlaku dalam kerajaan Aceh Darussalam didasarkan kepada ajaran Islam, yaitu segalanya tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Mengenai dengan sumber hukum, juga dalam Qanun Meukuta Alam disebut dengan jelas, yaitu: Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ Ulama Ahlussunnah wal jama’ah, dan Qiyas.

Adapun hukum yang bersumber kepada empat sumber di atas, yang berlaku di dalam Kerajaan Aceh Darussalam terdapat empat macam hukum pula, yaitu:
  1. Hukum 
  2. Adat
  3.  Reusam
  4. Qanun
Yang dimaksud dengan “hukum” yaitu perundang-undangan yang mengatur masalah-masalah keagamaan. Yang dimaksud “Adat” yaitu perundang-undangan yang mengatur masalah kenegaraan. Yang dimaksud dengan “Reusam” yaitu perundang-undangan yang mengatur tentang masalah kemasyarakatan. Yang dimaksud dengan “Qanun” yaitu qanun-qanun yang mengatur tentang masalah ketentaraan/pertahanan.

Baik hukum, adat, reusam, atau qanun, masing-masing terdapat lima tingkat, hal mana juga diatur dalam Qanun Meukuta Alam, yaitu:
  1.  Hukum Syari’i, Adat Syari’i, Reusam Syari’i, Qanun Syari’i, adalah hukum dasar atau undang-undang pokok yang mengatur masalah keagamaan, kenegaraan, kemasyarakatan, dan pertahanan, yang kesemuanya bersumber daripada Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ para Ulama Ahlussunnah Waljama’ah, dan Qiyas.
  2. Hukum ‘Aridhi, Adat ‘Aridhi, Reusam ‘Aridhi, Qanun ‘Aridhi: yaitu peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah (Sultan atau Menteri-Menteri) untuk mengatur masalah-masalah keagamaan, kenegaraan, kemasyarakatan, dan pertahanan/ketentaraan.
  3. Hukum Dharuri, Adat Dharuri, Reusam Dharuri, Qanun Dharuri: yaitu undang-undang darurat yang langsung dibuat, dijalankan oleh Sultan sebagai panglima tertinggi Angkatan Perang, untuk mengatur masalah-masalah keagamaan, kenegaraan, kemasyarakatan, dan pertahanan/ketentaraan. Akan tetapi, sebagai catatan bahwa tidak ada dalam Qanun Meukuta Alam dimana seorang Sultan tidak harus dijabat secara turun temurun, tapi dipahami bahwa Sultan itu diangkat sebagaimana kehendak rakyat. Yaitu rakyat yang mengangkatnya dan rakyat juga yang punya hak untuk menurunkannya. Namun secara hukum Aceh tetap bersifat kerajaan, karena Sultan terakhir Kerajaan Aceh (Tuanku Muhammad Daudsyah) yang ditangkap pada tahun 1903 dan dibuang oleh penjajah Belanda tidak pernah menandatangani traktat pengakuan bahwa Aceh sudah takluk kepada Belanda saat itu. Bahkan Tuanku Muhammad Daudsyah mewariskan pucuk pimpinan perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda kepada para ulama Tiro. Sehingga seperti telah tertulis dalam sejarah bahwa Aceh walaupun seorang Sultan telah ditangkap dan diasingkan oleh penjajah Belanda, tapi perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah terus berlanjut dilakukan dengan tokoh-tokoh pimpinannya dari kalangan ulama-ulama terkemuka pada saat itu. Dengan demikian, pada hakikatnya Aceh masih bersifat kerajaan atau Kesultanan. Dimana hal keadaan ini dapat dipahami dari hukum Islam yang kitab-kitabnya dibaca oleh para ulama Aceh. Maka berdasarkan perihal tersebut dapat dipahami juga bahwa sebenarnya Aceh masih bisa memperlakukan Qanun Meukuta Alam dalam tatanan pemerintahannya. Padahal keadaan ini juga yang memaknai bahwa Aceh adalah teristimewa dari daerah-daerah lain dimana kelanjutan perjuangannya terus terlaksana dan terjaga semangatnya dengan adanya para ulama dibarisan depan perjuangan, terutama sesudah tahun 1903.
  4.  Hukum Nafsi, Adat Nafsi, Reusam Nafsi, Qanun Nafsi: yaitu peraturan-peraturan isimewa yang khusus  dibuat oleh Sultan untuk mengatur masalah-masalah kegamaan, kenegaraan, kemasyarakatan, dan pertahanan/ketentaraan.
  5. Hukum ‘Urfi, Adat ‘Urfi, Reusam ‘Urfi, Qanun ‘Urfi: yaitu peraturan-peraturan yang dibuat oleh para penguasa derah (hulubalang) untuk mengatur masalah-masalah keagamaan, kenegaraan, kemasyarakatan, dan pertahanan di daerah-daerahnya masing-masing.


Previous
Next Post »
Thanks for your comment